Reaksi Eksoterm – Pengertian, Teori, Perbedaan dan Contoh
Reaksi Eksotermik – Definisi, Teori, Perbedaan dan Contoh – Untuk pembahasan kali ini kita akan mengulas tentang Reaksi eksotermik yang dalam hal ini meliputi pengertian, teori, perbedaan dan contoh-contohnya, agar anda lebih paham dan mengerti, simak ulasan lengkapnya di bawah ini.
Definisi Reaksi Eksotermik
Reaksi eksoterm adalah reaksi kimia di mana sistem melepaskan panas. Pada reaksi eksoterm, suhu campuran reaksi akan naik dan energi potensial zat kimia yang bersangkutan akan berkurang sehingga sistem melepaskan kalor ke lingkungannya.
Beberapa reaksi eksotermik terjadi secara alami dan beberapa terjadi secara artifisial. Reaksi eksoterm alami adalah proses reaksi di alam yang berlangsung secara spontan dengan melepaskan energi. Misalnya besi berkarat, air mengalir, ledakan bom, pertunjukan kembang api, dan pembakaran kayu.
Baca Juga Artikel Terkait : Asam Sulfat – Pengertian, Sifat, Rumus, Bahaya dan Proses
Reaksi eksoterm buatan adalah reaksi eksoterm yang dihasilkan dari percobaan di laboratorium. Misalnya reaksi natrium peroksida dengan air, reaksi serbuk HCL dan Zn, pencampuran air dengan asam pekat, penambahan air pada tembaga sulfat anhidrat, dan reaksi besi (III) oksida dengan logam aluminium (thermit). reaksi).
Reaksi eksoterm umumnya berlangsung secara spontan, sedangkan reaksi endoterm tidak.
Pada reaksi endoterm: DH = Hp – Jam > 0 (tanda positif)
Pada reaksi eksoterm: DH = Hp – Jam < 0 (tanda negatif)
Pada reaksi eksoterm, sistem melepaskan energi, sehingga entalpi sistem akan berkurang, artinya entalpi produk lebih kecil daripada entalpi reaktan. Oleh karena itu, perubahan entalpinya negatif.
Perubahan entalpi dalam reaksi eksotermik dapat dinyatakan dengan diagram tingkat energi sebagai berikut:
Teori Reaksi Eksotermik
Reaksi kimia seperti pembakaran, fermentasi, dan reduksi bijih menjadi logam telah dikenal sejak zaman kuno. Teori-teori awal transformasi bahan-bahan ini dikembangkan oleh para filsuf Yunani kuno, seperti Teori empat unsur Empedocles yang menyatakan bahwa setiap zat terdiri dari 4 unsur dasar: api, air, udara, dan tanah. Pada abad pertengahan, transformasi kimia dipelajari oleh para alkemis. Mereka mencoba, misalnya, mengubah timah menjadi emas, dengan mereaksikan timbal dengan campuran tembaga-timbal dengan belerang.
Baca Juga Artikel Terkait : Etanol – Definisi, Msds, Formula, Struktur, Bahaya, pH & Manufaktur
Produksi senyawa kimia yang tidak terjadi secara alami di bumi telah lama diupayakan oleh para ilmuwan, seperti sintesis asam sulfat dan asam nitrat oleh alkemis Jabir ibn Hayyān. Proses ini dilakukan dengan memanaskan mineral sulfat dan nitrat, seperti tembaga sulfat, tawas dan kalium nitrat. Pada abad ke-17, Johann Rudolph Glauber menghasilkan asam klorida dan natrium sulfat dengan mereaksikan asam sulfat dengan natrium klorida.
Dengan perkembangan proses kamar timah pada tahun 1746 dan proses Leblanc, yang memungkinkan untuk menghasilkan asam sulfat dan natrium karbonat dalam jumlah besar, reaksi kimia tersebut memiliki aplikasi industri. Kemajuan teknologi asam sulfat akhirnya menghasilkan proses kontak pada tahun 1880-an, dan proses Haber dikembangkan pada tahun 1909–1910 untuk sintesis amonia.
Sejak abad ke-16, sejumlah peneliti seperti Jan Baptist van Helmont, Robert Boyle dan Isaac Newton mencoba mengemukakan teori transformasi kimia yang telah diujicobakan. Teori plogiston diciptakan pada tahun 1667 oleh Johann Joachim Becher.
Teori tersebut mendalilkan adanya elemen mirip api yang disebut “plogiston”, yang hadir dalam benda yang mudah terbakar dan dilepaskan selama pembakaran. Teori ini dibantah pada tahun 1785 oleh Antoine Lavoisier, yang akhirnya memberikan penjelasan yang benar tentang pembakaran.
Pada tahun 1808, Joseph Louis Gay-Lussac akhirnya menemukan bahwa sifat-sifat gas selalu sama. Berdasarkan ini dan teori atom John Dalton, Joseph Proust akhirnya mengembangkan hukum perbandingan tetap yang akan menjadi konsep awal stoikiometri dan persamaan kimia.
Di bidang kimia organik, telah lama diyakini bahwa senyawa yang terdapat dalam organisme hidup terlalu kompleks untuk diperoleh dengan sintesis kimia. Menurut konsep vitalisme, senyawa organik dilengkapi dengan “kemampuan vital” sehingga “berbeda” dengan bahan anorganik.
Baca Juga Artikel Terkait : Amonia – Pengertian, Rumus, Proses, Sifat, Dampak dan Metode
Namun pada akhirnya konsep ini terpatahkan setelah Friedrich Wöhler berhasil mensintesis urea pada tahun 1828. Kimiawan lain yang berkontribusi dalam kimia organik termasuk Alexander William Williamson dengan sintesis eternya dan Christopher Kelk Ingold yang menemukan mekanisme reaksi subs.
Contoh Penulisan Persamaan Reaksi dalam Termokimia
C(s) +O2(g) ® CO2(g) +394 kJ
2 C(s) +H2(g) ® C2H2(g) – 226,8 kJ
tertulis:
C(s) +O2(g) ® CO2(g) SEBUAHH = –394 kJ
2 C(s) +H2(g) ® C2H2(g) SEBUAHH = +226,8 kJ
Perbedaan antara Reaksi Eksotermik dan Reaksi Endotermik
Terdiri dari:
→ Reaksi Eksotermik
- Membebaskan kalori
- Temperatur sistem lebih tinggi dari temperatur sekitar
- Panas dipindahkan dari sistem ke lingkungan
- Entalpi sistem akan berkurang
- Memiliki kenaikan suhu
→ Reaksi Endotermik
- Membutuhkan kalori
- Suhu sistem lebih rendah dari suhu sekitar
- Panas dipindahkan dari lingkungan ke sistem
- Entalpi sistem akan meningkat
- Mengalami penurunan suhu
Baca Juga Artikel Terkait : Koloid adalah
Contoh Reaksi Eksoterm dalam Kehidupan Sehari-hari
Terdiri dari:
-
Letusan Kembang Api
-
Ledakan Bom
-
Pembakaran kayu
-
Proses Besi Berkarat
Demikianlah pembahasan mengenai Reaksi Eksotermik – Definisi, Teori, Perbedaan dan Contoh Semoga ulasan ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi anda semua, terima kasih banyak atas kunjungannya. 🙂 🙂 🙂